Jumat, 19 Februari 2010


Tembakau Madura di Tahun 2010
Oleh Mohammad Afifi

Selama ini pengusaha rokok dan Pemerintah Indonesia mendapat keuntungan besar dari penjualan rokok. Gudang Garam dan HM Sampoerna pada semester pertama 2009, misalnya, memperoleh laba Rp 1 trilun lebih. Hal serupa juga didapat pemerintah dari tarif cukai rokok, sebesar Rp 30 triliun per tahun.

Keuntungan besar ini antara lain dipicu tingkat konsumsi rokok yang tinggi di Indonesia. Tingkat konsumsi ini bisa dilihat dari produksi rokok yang sekitar 200 miliar batang per tahun. Angka ini telah mengantarkan Indonesia sebagai negara konsumen rokok terbesar ketiga di dunia. Selain itu, ia juga telah menuai kecaman dan kritik tajam, terutama saat Konferensi Dunia untuk Tembakau atau Kesehatan Ke-14 berlangsung. Indonesia dianggap gagal mengendalikan rokok atau tembakau, bahkan tertinggal 20 tahun dari Malaysia dan Thailand.

Mungkin karena itu pemerintah lalu mengeluarkan tiga paket kebijakan. Pertama, Oktober lalu pemerintah mengesahkan undang-undang (UU) kesehatan, yang salah satu pasalnya mengategorikan rokok sebagai zat adiktif. Ini berarti rokok sama statusnya dengan narkoba sehingga harus ada pengendalian.

Kedua, pemerintah akan menaikkan tarif cukai rokok tahun 2010. Kenaikannya dianggap cukup tinggi, sekitar 15 persen. Jika dirupiahkan, nilainya berkisar Rp 20-Rp 45 per batang. Selama ini tarif cukai rokok di Indonesia tergolong paling rendah di Asia, yakni 37 persen. Dengan ini, ia akan bertambah dan menjadi 52 persen.

Ketiga, pemerintah sedang mempersiapkan rancangan UU mengenai pengesahan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC merupakan konvensi internasional untuk mengendalikan tembakau atau rokok. FCTC mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya. Tujuannya adalah melindungi generasi sekarang dan yang akan datang dari wabah tembakau atau rokok.

Tiga paket kebijakan ini tentu sangat besar manfaatnya, terutama bagi peningkatan kesehatan dan penyelamatan berjuta jiwa warga Indonesia. Rokok, menurut Myers (Direktur Campaign for Tobacco Free Kids), adalah pembunuh nomor wahid di dunia. Jumlah korbannya melampaui gabungan orang yang meninggal gara-gara malaria, AIDS, dan tuberkulosis. Ia membunuh banyak orang karena terjadi secara perlahan- lahan (Kompas, 18/3/2009).

Akan tetapi, kebijakan ini juga akan mengancam jutaan petani tembakau di Madura. Mereka akan kehilangan pekerjaan. Pada masa mendatang, secara perlahan mereka mungkin tidak lagi menanam, merawat, memanen, merajang, dan menjemur tembakau karena konsumsi rokok di Indonesia semakin menurun. Ini semua bisa terwujud apabila pemerintah konsisten dan tegas dalam melaksanakan kebijakan tersebut.

Jepang pernah mencontohkannya pada masa pendudukannya di Indonesia. Jepang mengubah perkebunan tembakau di Sumatera yang luas dengan produksi pangan. Ini didorong suplai pangan Jepang yang minim saat menghadapi serangan-serangan Sekutu (MC Ricklefs, 2005; 409).

Kebijakan ini tentu lebih baik ketimbang membiarkan para petani tembakau terus rugi. Kerugian ini sering kali dipicu kelebihan produksi. Mereka mengira kebutuhan pabrik tidak berubah. Padahal, setiap tahun pabrik selalu mengurangi daya beli.

Di samping itu, ada juga perubahan iklim. Musim menjadi tidak teratur. Ini mengakibatkan mutu dan kualitas tembakau menjadi kurang baik karena tembakau sangat bergantung pada keteraturan musim kemarau dan hujan.

Pengendalian rokok dan impor pangan merupakan tantangan bagi pemerintah dan masyarakat Madura untuk meningkatkan kualitas serta kesejahteraan hidup mereka pada tahun 2010. Akan tetapi, tantangan ini bisa diubah menjadi peluang. Di sini, pemerintah dan masyarakat Madura dituntut untuk berperan lebih aktif. Mereka bisa meniru kebijakan Jepang, yaitu mengganti tanaman tembakau rakyat dengan tanaman pangan.

Penggantian ini bisa diawali dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mendukungnya. Pasalnya, sebagian besar tembakau rakyat ditanam pada awal musim kemarau, saat air selalu kurang. Di sini terlihat ada beberapa program Menteri Pertanian pada tahun 2010, seperti perbaikan manajemen dan teknologi pengelolaan, pemanfaatan sumber daya air dan irigasi, penyesuaian pola tanam terhadap budaya iklim, dan pengembangan teknologi adaptif, seperti jenis tanaman yang adaptif terhadap kekeringan dan banjir, yang berusaha meningkatkan produksi pangan.

Program ini, menurut penulis, bisa disinergikan dengan hal di atas. Sebagian petani tembakau di Madura memang sudah lama menunggu adanya program yang menguntungkan mereka. Mohammad Afifi Pondok Pesantren Sumber Payung, Ganding, Sumenep, Madura
http://cetak.kompas.com

0 komentar: